Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau!

Mahasiswa UMM Gagas Edukasi Pangan Aman di Sekolah

Dokumentasi bersama setelah melakukan pelatihan uji cepat identifikasi bahan berbahaya dalam makanan di SMAN 1 Blitar yang diselenggarakan oleh Kelompok 64 PMM Universitas Muhammadiyah Malang. (doc. PMM Kelompok 64)

MATABLITAR.COMJawa Timur – Dalam upaya meningkatkan kesadaran dan keterampilan siswa dalam mengenali makanan berbahaya, Pegabdian Masyarakat oleh Mahasiswa (PMM) Universitas Muhammadiyah Malang sukses menyelenggarakan kegiatan edukasi dan pelatihan uji cepat di SMAN 1 Blitar.

Penggunaan bahan berbahaya seperti boraks, formalin, rhodamin B, dan methanil yellow dalam makanan masih marak terjadi dan membahayakan kesehatan, khususnya bagi siswa sekolah yang rentan akibat kurangnya pengetahuan.

Bahan-bahan ini digunakan karena murah, mudah diperoleh, dan sering ditemukan dalam jajanan sekolah. Untuk meningkatkan kesadaran dan keterampilan siswa dalam mengenali makanan berbahaya, dilakukan kegiatan edukasi dan pelatihan uji cepat di SMAN 1 Blitar.

Kegiatan ini merupakan bagian dari Pengabdian Masyarakat oleh Mahasiswa (PMM) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang mengaplikasikan hasil penelitian untuk memberikan manfaat nyata.

Narasumber yang terlibat antara lain Hanif Alamudin Manshur, S.Gz., M.Si dan Prof. Dr. Ir. Noor Harini, M.S, serta instruktur Nindi Alaida Pramesti dan Aprilia Yogi Saputri. Peserta kegiatan adalah 40 siswa kelas XI SMAN 1 Blitar.

Kegiatan pengabdian masyarakat ini dilaksanakan pada 13 November hingga 9 Desember 2024 di SMA Negeri 1 Blitar, Jl. Ahmad Yani No. 112, Sananwetan. Kegiatan terdiri dari penyuluhan dan evaluasi.

Penyuluhan mencakup informasi bahaya makanan yang mengandung zat berbahaya, dampak konsumsi bahan pengawet dan pewarna sintetis, serta pelatihan uji cepat bahan berbahaya. Evaluasi dilakukan melalui kuesioner untuk menilai pemahaman dan kepuasan peserta.

Pengujian dilakukan terhadap formalin, boraks, dan pewarna berbahaya menggunakan test kit produksi laboratorium BioChem, yaitu FMR (Formalin Main Reagent), BMR (Borax Main Reagent), dan CMR (Colour Main Reagent) untuk rhodamin B.

Sampel makanan yang diuji meliputi cireng, pempek, cendol, kue lapis, lontong, puyam, tahu, mie, cilok, kerupuk, kue, selai nanas, dan ikan teri.

Dokumentasi pemaparan materi edukasi bahan berbahaya oleh Bapak Hanif Alamudin Manshur, S.Gz., M.Si. (doc. PMM Kelompok 64)

Dari hasil uji cepat, diketahui bahwa sebagian besar sampel makanan mengandung BTP berbahaya (8 dari 13), seperti formalin, boraks dan pewarna tekstil.

Formalin menjadi BTP berbahaya yang paling banyak ditemukan (6 sampel), diikuti dengan boraks (2 sampel) dan pewarna tekstil (1 sampel).

Formalin ditemukan pada 4 sampel makanan jajanan seperti cireng, kue lapis, puyam, dan kue serta 2 sampel bahan pangan dari pasar seperti tahu dan ikan teri. Boraks ditemukan pada sampel mie dan kerupuk.

Sementara, pewarna tekstil (Rhodamin B atau Methanil Yellow) ditemukan pada sampel kerupuk. Hasil ini tentunya menimbulkan kekhawatiran dan meningkatkan kewaspadaan konsumen apabila membeli bahan makanan di pasar tradisional maupun pedagang jajanan.

Hasil ini menjadi alarm penting bagi pihak sekolah, orang tua, dan masyarakat sekitar untuk lebih waspada terhadap konsumsi jajanan yang tidak terjamin keamanannya.

Kegiatan edukasi dan pelatihan uji cepat bahan berbahaya di SMAN 1 Blitar berhasil meningkatkan pengetahuan dan kesadaran siswa tentang keamanan pangan. Siswa tidak hanya memahami bahaya zat seperti boraks dan formalin, tetapi juga mampu melakukan pengujian mandiri.

Hasil uji menunjukkan adanya makanan jajanan yang mengandung bahan berbahaya, menegaskan pentingnya edukasi dan pengawasan. Siswa diharapkan menjadi agen perubahan, dan kegiatan ini perlu diperluas serta dijadikan program berkelanjutan.

Kepala Sekolah SMAN 1 Blitar, Dra. Wiwik Dwiastutik, M.Pd., menyambut baik kegiatan edukasi dan pelatihan yang diberikan kepada para siswa sebagai langkah nyata meningkatkan kesadaran akan keamanan pangan.

Ia menekankan bahwa “Siswa diharapkan menjadi agen perubahan, dan kegiatan ini perlu diperluas serta dijadikan program berkelanjutan.”

Penulis: Aprilia Yogi Saputri, Mahasiswi Jurusan Teknologi Pangan, Universitas Muhammadiyah Malang

Share:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *