Beberapa waktu terakhir, band punk asal Purbalingga, Sukatani, menyedot perhatian publik setelah lagu mereka, Bayar Bayar Bayar, viral di media sosial.
Lagu ini, yang secara eksplisit mengkritik praktik pungutan liar di tubuh kepolisian, membawa Sukatani ke dalam pusaran kontroversi.
Bahkan, mereka akhirnya mengunggah permintaan maaf kepada Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo dan institusi Polri melalui media sosial.
Salah satu personel Sukatani, Muhammad Syifa Al Ufti alias Alectroguy, menjelaskan bahwa Bayar Bayar Bayar bukanlah serangan terhadap institusi kepolisian secara keseluruhan, melainkan kritik terhadap oknum yang menyalahgunakan wewenang.
Namun, lirik tajam yang mereka angkat tampaknya cukup mengguncang, hingga berujung pada permintaan maaf publik.
Punk, sebagai subkultur, memang selalu memiliki semangat perlawanan terhadap otoritas, terutama ketika dianggap tidak berpihak kepada rakyat.
Sejarah mencatat bagaimana band-band punk di berbagai belahan dunia kerap menjadi corong kritik sosial.
Dari Sex Pistols yang menyerang monarki Inggris hingga Superman Is Dead yang menyuarakan isu lingkungan di Bali, punk selalu berada di depan dalam menyampaikan keresahan publik.
Sukatani, sebagai duo dance-punk yang baru aktif sejak 2022, mencoba melanjutkan tradisi tersebut. Dengan formasi Muhammad Syifa alias Alectroguy (gitaris & produser) dan Novi Citra Indriyati alias Twister Angel (vokalis), mereka membawa semangat kritik dalam balutan musik yang energik.
Lagu Bayar Bayar Bayar menyentil praktik pungli yang kerap dirasakan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan: mulai dari pembuatan SIM, tilang di jalan, hingga kasus hukum yang diduga bisa diselesaikan dengan ‘bayar polisi’.
Dengan lirik yang repetitif dan langsung ke inti permasalahan, lagu ini memang menyentuh persoalan yang banyak dikeluhkan masyarakat.
Namun, di Indonesia, kritik terhadap institusi negara, terutama yang berhubungan dengan aparat keamanan, sering kali berujung pada respons yang tidak ramah.
Kasus Sukatani menunjukkan bahwa ada garis tipis antara kebebasan berekspresi dan risiko menghadapi konsekuensi hukum atau tekanan sosial.
Permintaan maaf yang dilakukan Sukatani bisa dibaca dalam dua perspektif: pertama, sebagai bentuk tanggung jawab mereka atas dampak yang ditimbulkan, dan kedua, sebagai refleksi dari ruang kritik yang semakin sempit.
Jika kritik melalui seni harus berakhir dengan permintaan maaf, maka ini menjadi pertanyaan besar tentang seberapa siap masyarakat menerima kritik terhadap institusi negara.
Di luar kontroversinya, satu hal menarik dari Sukatani adalah keberanian mereka mengangkat aksara Arab Pegon dalam penulisan namanya.
Aksara warisan ulama Jawa ini biasanya digunakan dalam teks-teks keagamaan, tetapi Sukatani menggunakannya sebagai medium ekspresi musik punk.
Ini menjadi bentuk perlawanan kultural tersendiri, menyatukan tradisi lokal dengan semangat perlawanan punk yang global.
Apakah Bayar Bayar Bayar sebuah penghinaan atau kritik yang sah? Perdebatan ini mungkin masih akan berlanjut.
Namun, satu hal yang pasti, seni seharusnya tetap memiliki ruang untuk menyuarakan kegelisahan masyarakat.
Jika kritik harus selalu diikuti dengan permintaan maaf, maka kita harus bertanya: seberapa demokratis ruang ekspresi kita saat ini?
Ramadhan 2025
Sobir (Seniman Pinggiran)