MATABLITAR.COM – Program Studi Pendidikan Islam Anak Usia Dini (PIAUD) Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Blitar menyelenggarakan Seminar Pendampingan Anak Usia Dini Berbasis Inklusi pada Kamis, 27 November 2025 di Aula Lantai 3 Kampus 1 UNU Blitar. 

Acara ini dihadiri lebih dari 100 peserta yang terdiri dari mahasiswa, dosen, pendidik PAUD, dan perwakilan lembaga mitra dari Blitar Raya. Seminar menghadirkan narasumber utama Dr. Taryaningsih, S.Pd., M.Pd., Owner Yayasan Disabilitas Naeema.

Ketua Program Studi PIAUD UNU Blitar, Dessy Farantika, M.Pd., menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan upaya konkret kampus dalam memperkuat kompetensi calon pendidik PAUD.

“Kami ingin lulusan PIAUD mampu menerapkan pendekatan inklusi secara konsisten, baik dalam praktik pembelajaran maupun ketika terjun sebagai pendidik profesional,” ujarnya.

Dalam paparannya, Dr. Taryaningsih menegaskan bahwa pendidikan inklusi membutuhkan perubahan cara pandang pendidik sebelum berbicara soal metode dan strategi teknis.

Ia menyebut masih banyak calon guru yang keliru beranggapan bahwa anak berkebutuhan khusus (ABK) hanya layak didampingi oleh guru sekolah luar biasa (SLB). 

“Inclusive education is everybody’s business. Semua pendidik bertanggung jawab mendampingi anak dengan keberagaman kemampuan,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan bahwa pendidik perlu memposisikan diri sebagai pihak yang diberi amanah untuk mendidik ABK, bukan menggantikan peran keluarga.

“Guru itu diberi amanah untuk mendidik ABK, bukan menjadi orang tua mereka. Orang tua ABK adalah orang terpilih yang diberi amanah langsung oleh Tuhan,” ujarnya.

Dr. Taryaningsih memaparkan ragam hambatan belajar yang dialami ABK, mulai dari hambatan intelektual, sensorik, fisik, hingga emosi dan perilaku. Setiap hambatan memiliki karakteristik belajar yang berbeda, sehingga strategi pembelajarannya tidak bisa disamaratakan.

“Ada anak yang mengandalkan pendengaran, ada yang butuh visual, ada yang belajar melalui pembiasaan. Pendidik harus memahami perbedaan ini agar tidak salah menangani,” jelasnya.

Ia menekankan bahwa sekolah perlu membangun lingkungan inklusif secara menyeluruh. Lingkungan tersebut melibatkan kepala sekolah, guru, siswa, orang tua, hingga masyarakat.

“SLB bisa menjadi pusat sumber, sementara sekolah perlu tergabung dalam kelompok kerja inklusif, bekerja sama dengan tenaga profesional, dan melibatkan orang tua secara aktif,” katanya.

Materi lain yang turut disampaikan adalah strategi prompting, sebuah teknik penguatan yang digunakan untuk membantu anak memahami instruksi.

Ia menjelaskan lima jenis prompt—visual, verbal, fisik, gerak tubuh, dan mencontohkan—yang dapat digunakan sesuai kebutuhan.

“Prompt itu jembatan. Dipakai seperlunya, lalu dikurangi bertahap agar anak belajar mandiri,” ujar Dr. Taryaningsih.

Seminar ini ditutup dengan diskusi interaktif, di mana peserta mengangkat beragam kasus nyata yang sering muncul di kelas PAUD.

Antusiasme peserta menunjukkan tingginya perhatian terhadap isu pendidikan inklusif, sekaligus menjadi sinyal bahwa lembaga pendidikan tinggi memiliki peran penting dalam mencetak pendidik masa depan yang inklusif, adaptif, dan berpihak pada perkembangan setiap anak. (Wj/red)