MATABLITAR.COM – Sebagai seseorang yang lahir dan besar di Blitar, tentunya penting untuk mengetahui sejarah tempat asal. Blitar adalah salah satu kota kecil di Jawa Timur, wilayahnya berbatasan dengan Malang, Kediri dan Tulungagung. Blitar menyimpan segudang kisah historis yang menarik untuk ditelusuri.
Kota ini tidak hanya dikenal sebagai tempat kelahiran Presiden pertama Indonesia, Soekarno, tetapi juga menjadi saksi bisu dari berbagai peristiwa penting yang terjadi di Indonesia, mulai dari masa kolonial Belanda hingga era modern saat ini.
Dengan lokasinya yang strategis dan kekayaan budaya yang dimilikinya, Blitar telah mengalami berbagai transformasi yang menjadikannya seperti sekarang ini. Artikel ini akan mengupas sejarah Blitar.
Legenda dan Asal Usul Nama Blitar
Menurut cerita rakyat yang berkembang di masyarakat, nama “Blitar” berasal dari kata dalam bahasa Jawa “Balitar.” Ada beberapa versi legenda yang menjelaskan asal-usul nama ini:
Versi Pertama: Kisah Patih Wuragil Menurut salah satu legenda, nama Blitar terkait dengan kisah seorang patih bernama Wuragil. Pada masa Kerajaan Majapahit, Patih Wuragil diperintahkan oleh raja untuk memimpin pasukan untuk menaklukkan daerah di sekitar Blitar yang saat itu dikenal sebagai wilayah yang liar dan belum terjamah.
Patih Wuragil akhirnya berhasil menaklukkan daerah tersebut dan mendirikan pemukiman baru. Nama “Blitar” dikatakan berasal dari kata “Beli Pitar” yang berarti “tempat perlawanan” atau “tempat pertempuran.”
Versi Kedua: Perintah Ratu Brawijaya Versi lain menceritakan bahwa nama Blitar berasal dari perintah seorang raja dari Kerajaan Majapahit, yang menginstruksikan seorang panglima untuk pergi ke daerah ini.
Panglima tersebut diperintahkan untuk “beli” (membeli) dan “tar” (mengambil alih) wilayah tersebut untuk kepentingan kerajaan. Kombinasi dari dua kata ini, “Beli” dan “Tar”, kemudian menjadi “Balitar”, yang akhirnya berubah menjadi “Blitar.”
Versi Ketiga: Legenda Arya Blitar Dalam cerita lainnya, nama Blitar dikaitkan dengan tokoh Arya Blitar, seorang prajurit tangguh dari Kerajaan Majapahit. Arya Blitar dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana dan pemberani yang dipercaya untuk menjaga wilayah ini. Nama Blitar diambil dari nama sang tokoh sebagai penghormatan atas jasanya dalam menjaga dan mengembangkan wilayah tersebut.
Aspek historis dan perkembangan nama Blitar Selain legenda, ada juga penjelasan historis yang mendukung asal-usul nama Blitar. Catatan sejarah menunjukkan bahwa Blitar sudah dikenal sebagai wilayah penting sejak zaman Kerajaan Majapahit.
Wilayah ini termasuk dalam daerah pengaruh kerajaan dan memiliki posisi strategis dalam jalur perdagangan dan pengelolaan pertanian. Seiring berjalannya waktu, nama Blitar mulai digunakan secara resmi dalam dokumen-dokumen kolonial Belanda.
Pada awal abad ke-19, ketika pemerintah kolonial Belanda memperluas kekuasaannya di Jawa, Blitar mulai ditetapkan sebagai salah satu distrik di bawah pemerintahan kolonial. Nama “Blitar” mulai digunakan dalam peta-peta resmi Belanda dan kemudian menjadi nama resmi kota tersebut hingga kini.
Perpisahan wilayah antara Kota Blitar dan Kabupaten Blitar terjadi pada masa pemerintahan kolonial Belanda, tepatnya pada tahun 1906. Pada tahun tersebut, Kota Blitar resmi berdiri sebagai sebuah gemeente (kotapraja) yang terpisah dari wilayah Kabupaten Blitar.
Perubahan ini adalah bagian dari kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi administrasi pemerintahan serta pengelolaan wilayah yang lebih baik di berbagai daerah di Hindia Belanda (sekarang Indonesia).
Sebelum pemisahan, Blitar merupakan bagian dari wilayah administratif yang lebih luas di bawah kekuasaan Kabupaten Blitar. Kabupaten ini memiliki sejarah panjang sebagai bagian dari kerajaan-kerajaan di Jawa Timur, seperti Majapahit dan Kerajaan Mataram Islam.
Seiring dengan perkembangan ekonomi dan infrastruktur, terutama setelah dibukanya jalur kereta api di akhir abad ke-19, Blitar mulai berkembang menjadi pusat perdagangan dan administrasi. Peningkatan ini mendorong pemerintah kolonial Belanda untuk memisahkan wilayah kota dari kabupaten agar administrasi pemerintahan dapat dikelola lebih efektif.
Masa Kolonial Belanda: Blitar dalam Bayang-Bayang Imperialisme
Sejarah Blitar tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kolonialisme Belanda yang telah menjajah Indonesia selama lebih dari tiga abad. Pada awal abad ke-19, wilayah Blitar mulai mendapat perhatian dari pemerintah kolonial Belanda.
Hal ini tidak terlepas dari posisinya yang strategis di antara kota-kota besar di Jawa Timur, seperti Surabaya dan Malang. Pemerintah kolonial melihat potensi Blitar sebagai pusat pertanian yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi mereka.
Pada tahun 1824, Blitar secara resmi didirikan sebagai salah satu distrik di bawah pemerintahan kolonial. Belanda mulai membangun infrastruktur dasar seperti jalan raya dan jaringan irigasi untuk mendukung aktivitas ekonomi mereka.
Salah satu infrastruktur penting yang dibangun pada masa kolonial adalah Stasiun Kereta Api Blitar yang didirikan pada tahun 1882. Stasiun ini menjadi bagian dari jalur kereta api yang menghubungkan Blitar dengan kota-kota besar lainnya, yang memudahkan mobilitas barang dan orang.
Perkebunan tebu dan pabrik gula menjadi sektor utama ekonomi Blitar pada masa kolonial. Belanda mendirikan banyak pabrik gula di daerah sekitar Blitar untuk mengolah tebu menjadi gula yang kemudian diekspor ke Eropa.
Kehadiran perkebunan dan pabrik gula ini memberikan dampak signifikan pada ekonomi lokal, meskipun sering kali terjadi eksploitasi tenaga kerja pribumi yang bekerja di bawah tekanan dan upah yang rendah.
Selain itu, Belanda juga mendirikan beberapa sekolah di Blitar sebagai bagian dari kebijakan politik etis mereka. Sekolah-sekolah ini awalnya hanya terbuka bagi anak-anak priyayi atau bangsawan lokal, tetapi seiring berjalannya waktu, semakin banyak anak-anak pribumi yang dapat mengenyam pendidikan di sana.
Era Pergerakan Nasional: Blitar dalam Semangat Kebangsaan
Blitar juga memiliki peran penting dalam era pergerakan nasional Indonesia. Tokoh utama dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia, Soekarno, lahir di Blitar pada 6 Juni 1901.
Meskipun Soekarno banyak menghabiskan masa kecilnya di Surabaya dan Bandung, Blitar tetap menjadi bagian penting dalam kehidupannya, terutama saat ia kembali dan menetap di kota ini pada akhir hayatnya.
Blitar kemudian menjadi tempat peristirahatan terakhir Soekarno, dan makamnya kini menjadi salah satu situs bersejarah yang paling banyak dikunjungi di Indonesia.
Pada masa pergerakan nasional, Blitar menjadi salah satu pusat aktivitas politik dan intelektual. Kota ini menjadi tempat berkumpulnya para pejuang dan intelektual yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan.
Salah satu peristiwa penting yang terjadi di Blitar pada masa ini adalah “Pemberontakan PETA” yang dipimpin oleh Supriyadi pada 14 Februari 1945. PETA (Pembela Tanah Air) adalah pasukan bentukan Jepang yang terdiri dari pemuda-pemuda Indonesia yang dilatih untuk mempertahankan wilayah Indonesia dari serangan Sekutu. Namun, semangat nasionalisme di kalangan pemuda PETA membuat mereka berbalik melawan Jepang.
Pemberontakan PETA di Blitar merupakan salah satu bentuk perlawanan pertama terhadap pendudukan Jepang di Indonesia. Meskipun pemberontakan ini tidak berhasil dan Supriyadi serta rekan-rekannya dinyatakan hilang, namun peristiwa ini memberikan dampak besar terhadap semangat perlawanan rakyat Indonesia.
Supriyadi kemudian diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia dan dikenang sebagai simbol perjuangan pemuda Indonesia melawan penjajah.
Masa Kemerdekaan: Blitar dalam Pembangunan Nasional
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Blitar terus memainkan peran penting dalam sejarah bangsa. Pada masa awal kemerdekaan, Blitar menjadi salah satu wilayah yang mendapat perhatian khusus dalam upaya pembangunan nasional.
Pemerintah Indonesia yang baru merdeka melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki infrastruktur yang rusak akibat perang dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Pemerintah Blitar juga mulai membangun berbagai fasilitas publik seperti sekolah, rumah sakit, dan jalan raya untuk mendukung pembangunan ekonomi dan sosial.
Pembangunan infrastruktur ini sangat penting untuk meningkatkan konektivitas antar wilayah dan mempermudah akses masyarakat terhadap layanan publik. Selain itu, sektor pertanian tetap menjadi tulang punggung ekonomi Blitar.
Program intensifikasi pertanian dilakukan untuk meningkatkan produksi padi dan hasil bumi lainnya, yang menjadi sumber penghidupan mayoritas penduduk Blitar.
Salah satu monumen penting yang dibangun pada masa kemerdekaan adalah Makam Bung Karno, yang terletak di desa Bendogerit, Kecamatan Sananwetan, Blitar. Makam ini dibangun pada tahun 1970, beberapa tahun setelah Soekarno wafat, dan menjadi tempat peristirahatan terakhirnya.
Makam Bung Karno tidak hanya menjadi simbol penghormatan bagi Presiden pertama Indonesia, tetapi juga menjadi magnet bagi wisatawan dari berbagai daerah yang ingin mengenang jasa-jasa Bung Karno bagi bangsa Indonesia.
Era Orde Baru dan Reformasi: Transformasi Sosial dan Politik di Blitar
Pada era Orde Baru (1966-1998), Blitar mengalami berbagai perubahan sosial dan politik. Pemerintahan Soeharto yang berkuasa selama lebih dari tiga dekade memberikan perhatian besar pada stabilitas politik dan pembangunan ekonomi.
Blitar, seperti daerah-daerah lain di Indonesia, mendapatkan manfaat dari program pembangunan yang digalakkan oleh pemerintah pusat, meskipun sering kali dengan kontrol politik yang ketat.
Salah satu program besar yang dicanangkan pada era Orde Baru adalah program transmigrasi, yang mengirim penduduk dari Jawa ke daerah-daerah lain di Indonesia untuk mengurangi kepadatan penduduk di Jawa dan mengembangkan wilayah-wilayah baru. Blitar menjadi salah satu daerah asal transmigran, dan program ini mempengaruhi demografi serta perekonomian lokal.
Namun, era Orde Baru juga dikenal dengan berbagai tindakan represif terhadap kebebasan politik dan demokrasi. Di Blitar, seperti di banyak daerah lain, terjadi kontrol ketat terhadap aktivitas politik yang dianggap bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat. Hal ini menciptakan suasana politik yang tertutup dan terbatasnya ruang bagi kritik dan oposisi.
Setelah jatuhnya Orde Baru pada tahun 1998, Indonesia memasuki era reformasi yang ditandai dengan perubahan besar dalam struktur politik dan pemerintahan. Otonomi daerah yang dicanangkan pada awal era reformasi memberikan kebebasan lebih besar kepada pemerintah daerah, termasuk Blitar, untuk mengelola sumber daya dan membuat kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan lokal.
Pada era reformasi, Blitar mulai membuka diri terhadap berbagai inisiatif baru dalam pembangunan ekonomi dan sosial. Pemerintah daerah mulai aktif mempromosikan potensi lokal, seperti produk-produk pertanian, kerajinan tangan, dan pariwisata.
Upaya pelestarian budaya lokal juga menjadi salah satu fokus utama, dengan diselenggarakannya berbagai festival seni dan budaya yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat.
Blitar di Masa Kini: Menghadapi Tantangan dan Peluang di Era Digital
Memasuki abad ke-21, Blitar terus berkembang sebagai kota yang dinamis dengan berbagai potensi ekonomi, sosial, dan budaya. Keberadaan Makam Bung Karno tetap menjadi daya tarik utama bagi wisatawan yang ingin mengetahui lebih dalam tentang sejarah Indonesia. Namun, Blitar juga mulai mengeksplorasi potensi pariwisata lain.
Selain itu, sektor pertanian di Blitar tetap menjadi tulang punggung ekonomi, dengan berbagai inovasi yang diterapkan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil pertanian. Pemerintah daerah juga mulai mengembangkan program-program pemberdayaan ekonomi masyarakat, terutama bagi petani dan pelaku usaha kecil, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Blitar.
Di era digital ini, Blitar juga tidak ketinggalan dalam memanfaatkan teknologi untuk mendukung pembangunan. Pemerintah Kota Blitar telah meluncurkan berbagai inisiatif untuk menjadikan Blitar sebagai kota yang ramah teknologi. Misalnya, pengembangan aplikasi layanan publik berbasis digital, seperti aplikasi untuk pengurusan administrasi kependudukan dan perizinan.
Namun, seperti daerah lain di Indonesia, Blitar juga menghadapi berbagai tantangan dalam proses pembangunan. Urbanisasi yang semakin meningkat, pertumbuhan penduduk, dan perubahan iklim menjadi beberapa isu yang harus dihadapi oleh pemerintah dan masyarakat Blitar.
Untuk itu, diperlukan kebijakan yang tepat dan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat untuk menjawab tantangan tersebut dan memanfaatkan peluang yang ada.
Sejarah Blitar adalah sejarah perjalanan panjang sebuah kota yang terus berkembang dan beradaptasi dengan perubahan zaman. Dari masa kolonial hingga era modern, Blitar telah melalui berbagai fase yang membentuk identitasnya sebagai kota yang kaya akan sejarah, budaya, dan potensi ekonomi.
Blitar telah berhasil mempertahankan kekayaan budayanya, sekaligus mengintegrasikannya dengan inovasi dan teknologi modern. Dalam setiap fase sejarahnya, Blitar menunjukkan kemampuannya untuk bangkit dan menyesuaikan diri dengan tantangan yang dihadapi, baik itu pada masa penjajahan, masa kemerdekaan, maupun di era globalisasi saat ini.
Meskipun memiliki sejarah panjang yang penuh dengan perjuangan, Blitar tidak hanya menjadi tempat untuk mengenang masa lalu. Kota ini juga menjadi ruang yang dinamis di mana masa depan sedang dibangun dengan semangat yang sama seperti yang pernah ditunjukkan oleh para pendahulu mereka.
Dengan potensi yang dimilikinya, Blitar berpeluang besar untuk terus berkembang menjadi kota yang lebih maju dan sejahtera. Tantangan yang ada, seperti urbanisasi dan perubahan iklim, dapat diatasi melalui kerjasama antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta.
Upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan, kesehatan, dan ekonomi masyarakat juga terus dilakukan agar Blitar bisa menjadi kota yang tidak hanya maju secara ekonomi, tetapi juga berdaya saing tinggi di tingkat nasional maupun internasional.
Dalam beberapa dekade mendatang, Blitar mungkin akan menghadapi lebih banyak perubahan dan tantangan baru. Namun, dengan semangat dan kerja keras yang telah menjadi ciri khas masyarakat Blitar sejak dahulu, kota ini diyakini akan mampu terus berkembang dan menciptakan masa depan yang lebih baik.
Sebagai penutup, perjalanan sejarah Blitar dari masa kolonial hingga kini adalah kisah tentang ketahanan, inovasi, dan semangat untuk maju. Kota ini telah menjadi saksi bisu dari banyak peristiwa penting dalam sejarah Indonesia dan telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi bangsa ini. Dengan warisan sejarah yang kaya dan potensi masa depan yang cerah, Blitar siap menyongsong era baru dengan optimisme dan tekad yang kuat untuk terus bergerak maju.
Referensi
1. Ricklefs, M.C. (2001). A History of Modern Indonesia since c. 1200. Stanford University Press.
2. Suryo, D. (1982). Perlawanan PETA di Blitar 1945: Suatu Kajian Sejarah Sosial. Jakarta: Balai Pustaka.
3. Kuntowijoyo. (1987). Perubahan Sosial di Blitar: Sebuah Pendekatan Historis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
4. Pemerintah Kota Blitar. (2023). Sejarah Kota Blitar. Retrieved from [blitarkota.go.id](https://blitarkota.go.id).
5. Soekarno, M. (2012). Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.