Paulo Freire, seorang pemikir pendidikan asal Brasil, meninggalkan jejak yang mendalam dalam dunia pendidikan, terutama melalui bukunya yang berjudul Pendidikan Kaum Tertindas (Pedagogy of the Oppressed).
Diterbitkan oleh LP3ES di Indonesia, buku ini menjadi salah satu referensi utama bagi para aktivis, pendidik, dan akademisi yang peduli pada pendidikan yang membebaskan.
Pemikirannya tidak hanya relevan di masanya, tetapi juga tetap menjadi sumber inspirasi dalam konteks pendidikan saat ini, terutama dalam menghadapi ketimpangan sosial.
Freire memulai pemikirannya dengan sebuah kritik tajam terhadap apa yang ia sebut sebagai “pendidikan gaya bank.” Dalam model ini, guru dipandang sebagai figur otoritas yang memiliki pengetahuan dan “menabungkan” pengetahuannya kepada murid.
Murid di sini dianggap sebagai wadah kosong yang pasif, siap untuk diisi oleh guru. Pendekatan ini, menurut Freire, justru melanggengkan penindasan, karena tidak memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk berpikir kritis dan bertanya.
Freire kemudian memperkenalkan gagasan pendidikan yang dialogis, sebuah metode yang berpusat pada kesetaraan antara pendidik dan peserta didik. Dalam pendidikan yang dialogis, guru dan murid saling belajar.
Guru tidak lagi menjadi otoritas tunggal yang mentransfer pengetahuan, melainkan menjadi fasilitator yang membantu murid mengembangkan pemikiran kritis mereka. Pendidikan dalam pandangan Freire adalah proses bersama, di mana kedua belah pihak saling memengaruhi dan memperkaya pemahaman.
Namun, Freire tidak hanya berbicara tentang metode pendidikan, tetapi juga memperdalam bagaimana pendidikan seharusnya berfungsi sebagai alat untuk pembebasan. Ia mengajak kita untuk memahami bahwa pendidikan adalah alat politik.
Pendidikan, dalam pandangan Freire, tidak pernah netral. Ia selalu terkait dengan kekuasaan. Dalam masyarakat yang penuh dengan ketimpangan, pendidikan harus berperan sebagai kekuatan pembebasan yang mengangkat mereka yang tertindas.
Bagi Freire, penindasan bukan hanya masalah ekonomi atau politik, tetapi juga masalah budaya dan kesadaran. Mereka yang tertindas sering kali terjebak dalam apa yang disebut sebagai “kesadaran magis,” yaitu kesadaran yang menerima dunia sebagaimana adanya tanpa mempertanyakan atau mencari perubahan.
Di sinilah pentingnya pendidikan kritis: untuk mengubah kesadaran magis menjadi “kesadaran kritis,” di mana orang-orang mampu melihat ketidakadilan dalam masyarakat dan merasa memiliki kemampuan untuk mengubahnya.
Pendidikan Kaum Tertindas juga menekankan pentingnya dialog yang tulus dan horizontal antara mereka yang tertindas dengan para pendidik. Freire menolak model yang hierarkis di mana pendidik “memerintahkan” murid untuk menerima pengetahuan.
Sebaliknya, ia menekankan bahwa melalui dialog yang sejajar, orang-orang dapat bersama-sama memahami realitas mereka dan mengembangkan strategi untuk mengubahnya. Dialog, dalam pandangan Freire, adalah inti dari pendidikan yang membebaskan.
Dalam konteks Indonesia, buku ini menemukan relevansi khusus, terutama dalam menghadapi berbagai bentuk ketimpangan sosial, politik, dan ekonomi yang masih nyata hingga saat ini.
Sistem pendidikan yang masih terjebak dalam pola “banking system” atau “gaya bank” sering kali gagal mempersiapkan generasi muda untuk menjadi kritis dan mandiri.
Sebaliknya, mereka dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka harus “menerima” apa yang diajarkan tanpa bertanya atau berpikir lebih jauh.
Freire memberi inspirasi untuk merumuskan pendidikan yang lebih humanis, yang menempatkan manusia sebagai subjek, bukan objek dari proses pendidikan. Ia menantang pendidik dan peserta didik untuk berpikir kritis terhadap dunia di sekitar mereka dan menolak tunduk pada struktur-struktur yang menindas.
Bagi Freire, tujuan akhir dari pendidikan bukan hanya menciptakan individu yang pintar, tetapi menciptakan individu yang bebas, yang memiliki kesadaran sosial dan keberanian untuk melawan penindasan dalam berbagai bentuknya.
Sebagai kesimpulan, Paulo Freire melalui Pendidikan Kaum Tertindas mengajak kita untuk melihat pendidikan tidak hanya sebagai proses pengajaran, tetapi sebagai alat pembebasan.
Ia menawarkan pandangan yang radikal namun mendalam tentang bagaimana pendidikan harus dipraktikkan: sebagai sarana untuk membangkitkan kesadaran kritis dan memberdayakan mereka yang tertindas. (red)