Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau!

Kekerasan di Lembaga Pendidikan; Inilah Pandangan Dewan Pendidikan Kab. Blitar dalam Program Pro Kontra

H. Rochmad Khudlori (kanan berkopyah songkok) Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Blitar Saat Disalah satu Program di Studio Mayangkara FM

MATABLITAR.COM – Dalam wawancara yang disiarkan pagi ini melalui program “Pro Kontra” di Radio Mayangkara 101 FM, H. Rochmad Khudlori, Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Blitar, menyampaikan pandangannya terkait fenomena kekerasan di lembaga pendidikan yang semakin menjadi perhatian publik. Kamis, (3/10)

Ia mengungkapkan keprihatinannya atas masih terjadinya kasus kekerasan di dunia pendidikan, yang bahkan dalam beberapa kasus telah menelan korban jiwa.

Meskipun kekerasan di lingkungan pendidikan belum mencapai tingkat yang mengkhawatirkan secara statistik, H. Rochmad menekankan bahwa lembaga pendidikan memiliki peran krusial sebagai “pintu gerbang” dalam membentuk manusia yang utuh.

Setiap tindakan yang menghambat atau mengancam pencapaian tujuan tersebut, tegasnya, harus dicegah dan ditangani secara serius, terarah, terukur, serta menyeluruh.

Menurut H. Rochmad, meskipun Permendikbud Ristek No. 46 Tahun 2023 telah diterbitkan sebagai upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan, berbagai lembaga pendidikan sebenarnya telah menjalankan langkah-langkah serupa sebelum regulasi itu resmi berlaku.

Kurikulum yang diterapkan sudah memuat pendidikan karakter, aturan tata tertib, serta layanan Bimbingan Konseling (BK), yang menjadi elemen penting dalam membantu siswa menghadapi berbagai tantangan.

Namun, kekerasan masih terus terjadi. H. Rochmad memaparkan bahwa kekerasan yang dimaksud mencakup kekerasan fisik, psikis, dan seksual dalam berbagai bentuk, mulai dari tindakan fisik, verbal, hingga penyalahgunaan teknologi informasi. Kendati berbagai perangkat pengawasan sudah ada, beberapa hal tetap membutuhkan perhatian lebih.

Reorientasi Paradigma Bimbingan Konseling

Salah satu tantangan besar dalam penanganan kekerasan di lingkungan sekolah adalah bagaimana siswa dan guru memandang Bimbingan Konseling (BK).

H. Rochmad mengakui bahwa walaupun sudah ada peralihan dari istilah Bimbingan Penyuluhan (BP) ke Bimbingan Konseling, banyak siswa yang masih menganggap BK sebagai sesuatu yang “menakutkan.”

Sebagian siswa bahkan merasa bahwa BK adalah tempat untuk “anak nakal,” sementara guru BK sering dicitrakan sebagai figur yang mengintimidasi.

“Anak-anak masih menganggap BK itu seperti malaikat Izroil, dan ruangannya seperti ruang hantu,” ujar Rochmad. Ia menambahkan bahwa ruang BK seharusnya menjadi tempat yang menenangkan dan nyaman bagi siswa.

Oleh karena itu, ruang BK perlu didesain lebih ramah, dan para guru BK harus memiliki kompetensi yang tinggi, terutama dengan latar belakang psikologi, sehingga mereka mampu membimbing siswa secara lebih sistematis, efektif, dan berkelanjutan.

Selain reorientasi paradigma BK, H. Rochmad juga menekankan pentingnya bagi setiap lembaga pendidikan untuk memiliki data pribadi dan rekam jejak siswa serta keluarganya.

“Mulai dari posisi murid dalam keluarga, keadaan ekonominya, hingga riwayat penyakit yang mungkin dideritanya, semua ini perlu tercatat dengan baik,” jelasnya.

Data ini, kata H. Rochmad, sangat berguna dalam membantu proses bimbingan minat, bakat, dan bahkan dalam memberikan tindakan hukuman yang lebih terukur dan efektif.

Dengan adanya rekam jejak yang lengkap, sekolah dapat memantau perkembangan siswa hingga mereka menjadi alumni, memastikan setiap langkah yang diambil bersifat berkelanjutan.

Guru sebagai Pembimbing

H. Rochmad juga menekankan bahwa meskipun peran guru BK sangat penting, setiap guru di sekolah, apapun mata pelajaran yang diampunya, harus mampu berperan sebagai pendidik dan pembimbing bagi siswa.

“Guru tidak boleh hanya mengandalkan BK untuk menyelesaikan masalah siswa. Mereka harus tahu didaktik metodik dan mampu memecahkan masalah secara mandiri,” jelasnya.

Salah satu karakter utama yang harus dimiliki oleh seorang guru, menurut H. Rochmad, adalah kesabaran. “Guru harus memiliki ‘usus yang panjang,’ istilah Jawa yang artinya tidak mudah terpancing emosi,” ujarnya.

Hukuman yang diberikan kepada siswa, lanjutnya, harus berdasarkan kasih sayang, bukan kemarahan atau kebencian.

H. Rochmad bahkan mengutip kisah Sayyidina Ali bin Abi Thalib dalam peperangan, di mana Ali mengurungkan niatnya untuk membunuh musuh setelah musuhnya meludahi wajahnya.

“Ali tidak ingin bertindak atas dasar emosi,” katanya, menekankan pentingnya guru dalam mengendalikan emosi saat menghadapi siswa yang bermasalah.

Ia juga merujuk pada Surat Ali Imran ayat 154 dalam Al-Qur’an, yang mengajarkan pentingnya sikap lemah lembut dalam memimpin dan mendidik.

Menurutnya, ayat ini mengajarkan bahwa guru harus mampu bersikap ramah, memaafkan, dan menjalin komunikasi dari hati ke hati dengan siswa, agar mereka merasa dihargai dan tidak menjauh dari bimbingan.

Saat menutup wawancara, H. Rochmad menegaskan bahwa Dewan Pendidikan Kabupaten Blitar bersama dengan Dinas Pendidikan dan Kementerian Agama akan menindaklanjuti permasalahan kekerasan di lembaga pendidikan dengan langkah-langkah yang lebih konkret.

Meskipun pembahasan di program “Pro Kontra” tidak bisa mengupas semua permasalahan secara mendetail, ia memastikan bahwa pihak terkait akan terus bekerja untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan kondusif bagi semua siswa.

Dengan komitmen dan sinergi dari semua pihak, H. Rochmad optimis bahwa kekerasan di lembaga pendidikan bisa diminimalisir, dan sekolah bisa benar-benar menjadi tempat yang aman bagi pengembangan karakter dan potensi siswa. (Sw/red)

Share:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *