Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau!

Drama Panggung Politik: Mengapa Debat Kedua Pilbup Blitar Terhenti di Tengah Jalan?

Debat Publik Kedua Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Blitar Tahun 2024

MATABLITAR.COM – Debat publik kedua Pemilihan Calon Bupati dan Wakil Bupati Blitar 2024, yang digelar pada Senin (4/11/2024) di Hall Kampung Coklat Kademangan, berakhir dengan penghentian secara tiba-tiba, menyisakan tanda tanya besar bagi masyarakat yang menyaksikan.

Ketegangan memuncak ketika pasangan calon (Paslon) nomor urut 1, Rijanto-Beky, memprotes keras karena rival mereka, Rini-Ghoni, membaca kertas berisi visi-misi. Perseteruan ini membuat Paslon 01 walk out, menghentikan acara debat yang seharusnya menjadi ajang adu gagasan bagi masa depan kabupaten Blitar.

Semua bermula ketika Paslon nomor urut 2, Rini-Ghoni, tengah menyampaikan visi dan misi di sesi pertama debat. Mereka memaparkan sejumlah data dan capaian, yang memancing reaksi keras dari pihak Rijanto-Beky.

Cawabup nomor urut 1, Beky Herdihansah, mengajukan interupsi dengan nada protes yang tajam, menuduh Paslon 02 “mencontek” karena dianggap terlalu bergantung pada kertas yang mereka baca. Tidak lama setelah itu, Rijanto-Beky turun dari panggung.

“Interupsi, moderator! Ini gak netral ini, cukup-cukup sudah, terima kasih,” ujar Beky memotong penyampaian Paslon 02 dengan nada tegas, mengisyaratkan ketidakpuasan yang kian membesar.

Setelah itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Blitar memutuskan menghentikan debat, melihat situasi yang tidak lagi kondusif.

Ketua KPU Kabupaten Blitar, Sugino, menyatakan bahwa pihaknya telah mencoba menengahi perselisihan tersebut.

Dalam wawancara, Sugino menjelaskan bahwa ada keberatan dari Paslon 01 atas penggunaan catatan kertas oleh Paslon 02 yang di duga menyalahi tatib debat.

KPU sudah memfasilitasi mediasi antara kedua pihak melalui masing-masing liaison officer (LO) untuk mencapai kesepakatan.

“Tadi sudah kita sampaikan saat wawancara, ada paslon yang protes karena ada yang bawa kertas diluar yang difasilitasi KPU, sehingga kita langsung mediasi bersama masing-masing LO paslon, dan lama tidak ada titik temu, sehingga kondisi semakin tidak kondusif, kalau ini dilanjutkan resikonya lebih besar sehingga jajaran KPU sepakat untuk menghentikan debat, karena itu keputusan yang terbaik,” jelas Sugino.

Keputusan penghentian debat ini menimbulkan reaksi beragam dari masyarakat. Bahrul, seorang warga Kanigoro, menilai larangan membawa catatan dalam pemaparan visi-misi sebagai hal yang tidak masuk akal.

Menurutnya, pemaparan visi-misi semestinya lebih baik jika Paslon diperbolehkan menggunakan catatan atau bahkan media seperti power point, sehingga informasi yang disampaikan lebih terstruktur dan dapat dipahami masyarakat.

“Masak pemaparan visi misi gak boleh bawa catatan dan membaca? Aturan seperti itu kesannya mengada-ada dan dipaksakan,” tegas Bahrul.

Ia menambahkan bahwa dalam Keputusan KPU Nomor 1363 Tahun 2024, yang menjadi pedoman teknis pelaksanaan debat publik, tidak ada larangan bagi Paslon membawa catatan.

Senada dengan Bahrul, Zain, warga Srengat, merasa bahwa larangan membaca catatan dalam debat justru menghambat penyampaian program yang akurat dan terstruktur.

“Justru kalau penyampaian visi-misi dan program sebaiknya malah baca, biar tidak ngawur. Masyarakat juga bisa menangkap secara detail,” ujar Zain, mengungkapkan kekecewaannya atas penghentian debat yang dirasa terlalu cepat.

Zain juga menyayangkan terhentinya debat kedua yang menurutnya memiliki tema penting, yaitu terkait pelayanan publik dan solusi permasalahan daerah.

Penghentian debat ini seolah memperlihatkan kompleksitas panggung politik lokal di kabupaten Blitar. Publik berharap agar setiap Paslon lebih siap dan terbuka untuk berdialog, bukan hanya untuk menunjukkan keunggulan masing-masing, tetapi juga memberikan gambaran konkret kepada masyarakat tentang masa depan kabupaten Blitar yang mereka tawarkan.

Drama dalam debat ini diharapkan menjadi refleksi bagi semua pihak terkait, agar ke depannya debat dapat berjalan lancar tanpa kendala emosional yang merugikan masyarakat sebagai pemilih.

Di tengah riuhnya persaingan, publik tetap mengharapkan ketenangan dan kedewasaan dalam menghadapi perbedaan, demi Pilkada yang sehat dan demokratis. (Nn/red)

Share:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *