Kegagalan debat publik kedua di Hall Kampung Coklat pada senin 4 November lalu memberi pelajaran penting bagi saya dan generasi muda umumnya, bahwa emosi dalam sebuah debat hanya akan merugikan kandidat itu sendiri.
Sebuah debat, khususnya yang disiarkan untuk masyarakat luas, bukan sekadar ajang untuk bertukar gagasan. Ini adalah panggung di mana para kandidat memperlihatkan karakter mereka di bawah sorotan publik, menunjukkan apakah mereka memiliki kendali diri yang cukup untuk memimpin.
Sebagai kandidat, menjaga emosi bukan berarti menyembunyikan passion atau keyakinan mereka, melainkan bukti kedewasaan dalam menghadapi perbedaan.
Bayangkan, jika kandidat tidak mampu menguasai emosinya saat debat, bagaimana nanti saat menghadapi tekanan sebagai pemimpin yang mengurus berbagai persoalan masyarakat?.
Mereka bukan hanya dituntut untuk menjawab kritik atau protes dengan tenang, tetapi juga harus bisa mengambil keputusan dalam situasi sulit tanpa terbawa emosi sesaat.
Dengan demikian, debat sebenarnya adalah uji kelayakan, bukan hanya atas visi, tetapi juga atas ketenangan jiwa dan ketangguhan mental seorang pemimpin.
Selain itu, debat adalah momen untuk menunjukkan kualitas diri. Kandidat yang mudah terpancing emosi cenderung menciptakan kesan negatif di mata publik. Masyarakat bisa melihat kandidat yang emosional sebagai sosok yang belum siap menerima kritik atau perbedaan pendapat.
Sebaliknya, kandidat yang mampu menahan diri dan tetap berfokus pada pesan yang ingin disampaikan menunjukkan ketenangan dan kecerdasan emosional yang diinginkan masyarakat dari seorang pemimpin.
Mereka bukan hanya menyampaikan visi, tetapi juga menyajikan diri sebagai sosok yang bisa diandalkan, terutama dalam situasi genting.
Emosi hanya akan membuat kandidat terlihat seperti kurang profesional. Ingat, masyarakat mengamati dan menilai bukan hanya kata-kata mereka, tetapi juga sikap dan gestur.
Ketika seorang kandidat bersikap emosional, publik bisa mempertanyakan apakah ia mampu mengendalikan diri saat memimpin, atau malah memperburuk situasi dengan respon emosional yang tak terkendali.
Jadi, bagi setiap kandidat yang hendak berdebat, emosi yang terkendali adalah aset besar. Bukan berarti harus kaku atau tanpa ekspresi, tapi ada nilai dalam ketenangan yang bisa membuat pesan lebih kuat dan lebih dipercaya.
Debat bukan soal siapa yang bisa berbicara paling keras atau menunjukkan sikap paling dramatis; justru ketenangan dalam menghadapi segala situasi itulah yang bisa jadi pembeda sejati.
Sebab pada akhirnya, pemimpin yang dicari masyarakat adalah pemimpin yang mampu membawa ketenangan di tengah hiruk-pikuk masalah, bukan yang malah menambah panas suasana.
Pentingnya kendali emosi bukan cuma soal performa panggung, tapi lebih dari itu, soal mentalitas dan karakter. Pemimpin yang baik tahu kapan harus berbicara, kapan harus mendengarkan, dan kapan harus menahan diri demi kepentingan yang lebih besar.
Blitar, 7 November 2024
Ahmad (Pengajar, warga Sutojayan)